Friday 20 November 2015

Kisah Pembunuhan Utsman bin ‘Affan

Abu Hurairah menangis mengingat wafatnya Utsman bin ‘Affan. Terbayang di hadapannya apa yang diperbuat bughat terhadap khalifah. Sebuah tragedi tercatat dalam lembaran tarikh Islam; menorehkan peristiwa kelabu atas umat ummiyah.
Dengan keji, pembunuh-pembunuh itu menumpahkan darah. Tangan menantu Rasulullah dan ditebas, padahal jari-jemari itulah yang dahulu dipercaya Rasul dan mencatat wahyu Allah. Darah pun mengalir membasahi Thaybah.
Dengan penuh cinta dan ridha kepada Allah, Amirul Mukminin mengembuskan nafas terakhir, meraih syahadah dengan membawa hujjah dan kemenangan yang nyata.
Ya Allah, tanamkan cinta dan ridha di hati kami pada sahabat-sahabat Nabi-Mu. Selamatkan hati kami dari kedengkian kepada mereka. Selamatkan pula lisan kami dari cercaan kepada mereka sebagaimana Engkau telah selamatkan tangan kami dari darah-darah mereka.
Utsman bin ‘Affan, sahabat yang mulia

Beliau adalah ‘Utsman bin ‘Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdisy-Syams bin Abdi Manaf. Pada kakeknya, Abdu Manaf, nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah.
Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu Bakr Ash-Shiddiq –Abdullah bin Abi Quhafah–, dan termasuk as-sabiqunal awwalun. Tampan wajahnya, lembut kulitnya, dan lebat jenggotnya. Sosok sahabat mulia ini sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Demikian Rasulullah menyanjung: “Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?” Mudah menangis kala mengingat akhirat. Jiwanya khusyu’ dan penuh tawadhu’ di hadapan Allah Rabbul ‘alamin. Beliau adalah menantu Rasulullah yang sangat dikasihi. Memperoleh kemuliaan dengan menikahi dua putri Nabi, Ruqayyah kemudian Ummu Kultsum hingga mendapat julukan Dzunurain(pemilik dua cahaya). Bahkan Rasulullah bersabda: “Seandainya aku masih memiliki putri yang lain sungguh akan kunikahkan dia dengan Utsman.” Utsman bin ‘Affan adalah figur sahabat yang memiliki kedermawanan luar biasa. Sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad, beliau telah menekuni perdagangan hingga memiliki kekayaan. Setelah cahaya Islam terpancar di muka bumi, harta tersebut beliau infakkan untuk menegakkan kalimat Allah.

Sumur Ar-Rumah

Tahukah Anda, apa itu sumur Ar-Rumah? Sumber air Madinah yang beliau beli dengan harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan dan membutuhkan tetes-tetes air. Rasulullah menawarkan jannah bagi siapa yang membelinya. Utsman pun bersegera meraih janji itu. Demi Allah! Beliau telah meraih jannah yang dijanjikan. Sosok yang mulia ini, tidak pernah berat untuk berinfak di jalan Allah, berapapun besarnya harta yang diinfakkan. Beliau keluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah, pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak kurang dari 30.000 pasukan. Seraya membolak-balikan emas yang Utsman bin ‘Affan infakkan, Rasulullah bersabda: “Tidaklah membahayakan bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.” (Karena sesungguhnya dia telah diampuni) Allahu Akbar! Betapa indah sabda Rasulullah mengiringi pengorbanan Utsman bin Affan. Allah l terima infak itu, Allah l pelihara dengan tangan kanan-Nya yang mulia dan Dia lipat gandakan pahala untuknya. Di antara keutamaan ‘Utsman bin ‘Affan, Allah jamin jannah atasnya bersama sembilan orang lainnya. Rasulullah bersabda: “… Dan ‘Utsman di jannah….” (Al-Hadits) Sebagian kecil keutamaan di atas cukup sebagai dalil yang muhkam –pasti– atas keutamaan Utsman bin ‘Affan. Di atas keyakinan inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah beragama.

Fitnah itu akan terjadi

Wafatnya Umar bin Al-Khaththab adalah awal kemunculan fitnah. Umar adalah pintu yang menutup fitnah. Begitu pintu dipatahkan, gelombang fitnah akan terus menimpa umat ini, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman dalam Shahihain. Pernahkah terbayang bahwa Utsman akan dibunuh dalam keadaan terzalimi? Mungkin kita tidak membayangkannya. Tetapi demi Allah, Utsman bin Affan telah mengetahui dirinya akan terbunuh, dengan kabar yang diperolehnya dari kekasih Allah, Nabi Muhammad. Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, beliau berkata: “Rasulullah pernah menyebutkan sebuah fitnah, lalu lewatlah seseorang. Beliau bersabda: “Pada fitnah itu, orang yang bertutup kepala ini akan terbunuh.” Berkata Ibnu ‘Umar:” Akupun melihat (orang itu), ternyata ia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.” Segala yang terjadi di muka bumi ini telah Allah tetapkan dan catat dalam Lauhul Mahfuzh. Sebagian dari takdir, Allah beritahukan kepada Rasul-Nya, termasuk berita terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan dalam keadaan syahid. Utsman menunggu saat-saat itu dengan penuh ridha dan keyakinan.

Rasulullah mengiringi berita tersebut dengan wasiat tentang apa yang harus dilakukan saat fitnah menerpa, sebagaimana akan kita lalui bersama sebagian riwayat tersebut. Maka berjalanlah Utsman dalam menghadapi fitnah tersebut dengan memegang teguh wasiat Rasulullah.

Abdullah bin Saba’ di balik wafatnya Utsman bin Affan


Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’ adalah seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan. Dia muncul di tengah-tengah muslimin dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk memecah-belah barisan kaum muslimin. Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Namun setan tak pernah henti mengajak manusia menuju jalan-jalan kesesatan, sebagaimana Iblis telah berkata di hadapan Allah: Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17) Ibnu Saba’ memulai makarnya bersama para pendukungnya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman bin ‘Affan bin Affan di tengah kaum yang dungu lagi bodoh. Tujuannya pasti: Memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan di hadapan manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah. Kenapa orang-orang bodoh yang dituju? Karena mereka itulah kaum yang tidak mengerti siapa Utsman. Mereka pula kelompok yang mudah disetir hawa nafsunya. Demikianlah gaya dan model pemberontak. Sebelum menggulingkan penguasa, mereka sebarkan kejelekan di tengah orang-orang bodoh, membuat arus bawah yang sukar untuk dibendung. Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman di tengah-tengah kaum muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.

Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman bin ‘Affan dan merusak agama Islam.

Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah cita-citanya: menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.

Syubhat-syubhat Ibnu Saba’ untuk menjatuhkan kehormatan Utsman bin Affan

Mereka yang mengetahui kemuliaan Utsman dari sabda Rasulullah tidak akan terpengaruh hasutan Ibnu Saba’, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia tidak berhasil melakukan makarnya di tengah-tengah ahli Madinah atau Makkah. Berbeda keadaannya di Mesir, ia berhasil menebar syubhat-syubhat berisi celaan kepada Utsman bin ‘Affan bin ‘Affan, yang seandainya diketahui hakikatnya justru merupakan keutamaan dan pujian atas Utsman bin Affan. Namun ketika gelombang fitnah telah menggulung dan sabda Rasulullah tidak lagi dihiraukan, banyak di antara juhhal (orang-orang bodoh) berjatuhan menjadi korban.

Pada kesempatan yang sangat terbatas ini, kita cukupkan dua syubhat beserta jawabannya sebagai gambaran atas kebodohan dan jauhnya kaum pemberontak dari ilmu.Syubhat pertama: ‘Utsman tidak mengikuti perang Badr. Ini merupakan aib (cela) bagi Utsman, maka tidak pantas ia menjadi khalifah.

Utsman bin ‘Affan memang tidak mengikuti perang Badr, Ramadhan 2 H. Akan tetapi tidak ikutnya beliau dalam perang Badr bukanlah aib sebagaimana sahabat-sahabat lain yang tidak mengikutinya juga tidak mendapat celaan. Karena pada perang Badr Rasulullah tidak mengharuskan sahabat untuk menyertai beliau. Terlebih lagi jika kita mengetahui sebab tidak ikutnya Utsman dalam perang Badr.

Dalam perang Badr, Rasulullah memerintahkan Utsman untuk tetap di rumah merawat istrinya, Ruqayyah, yang merupakan putri Rasulullah. Maka jawablah dengan jujur: “Pantaskah seorang yang melaksanakan perintah Rasul kemudian dicela dengan sebab itu?”

Bahkan sebaliknya, dengan melaksanakan perintah Rasul beliau mendapat keutamaan taat di samping beliau juga mendapatkan keutamaan ahlu Badr dan pahala mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengikutsertakan Utsman bin ‘Affan dalam ghanimah Badr.

Suatu saat, seorang Khawarij bertanya kepada Abdullah bin ‘Umar di Masjidil Haram: “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah ‘Utsman bin ‘Affan mengikuti perang Badr?” Ibnu ‘Umar menjawab: “Tidak.” Maka dengan girangnya dia berseru: “Allahu Akbar!” –seolah-olah dia dapatkan kebenaran celaan atas Utsman bin ‘Affan–. Dengan segera Ibnu ‘Umar berkata kepadanya: “Adapun ketidakhadiran Utsman dalam perang Badr karena putri Rasulullah –istrinya– sakit, (Rasul perintahkan untuk merawatnya) dan beliau bersabda:

“Sesungguhnya bagimu pahala mereka yang mengikuti perang Badr dan bagimu pula bagian ghanimah.” Atas dasar ini, ulama tarikh seperti Az-Zuhri, ‘Urwah bin Az-Zubair, Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Ishaq, dan lainnya memasukkan Utsman bin Affan dalam barisan ahlu Badr (orang-orang yang mengikuti perang Badr). Syubhat kedua: Utsman membuat ladang khusus untuk unta-unta sedekah. Ladang tersebut terlarang untuk selain unta sedekah. Kaum Khawarij menuduh perbuatan ini sebagai kezaliman, kebid’ahan, dan kedustaan atas nama Allah.

Ketika ahlu Mesir –para pemberontak– mendatangi Utsman bin Affan mereka berkata: “Bukalah surat Yunus dan bacalah.” Lalu mereka hentikan bacaan Utsman bin Affan ketika sampai pada ayat: Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)

Mereka berkata: “Berhenti kamu! Lihatlah apa yang telah kau perbuat. Engkau membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah l? ”

Utsman menjawab: “Bukan dalam masalah tersebut ayat ini diturunkan! Sungguh Umar bin Al-Khaththab telah melakukannya sebelumku, membatasi tanah khusus untuk unta-unta zakat, lalu aku menambahnya karena unta sedekah semakin bertambah banyak.”

Bantahan Utsman bin ‘Affan ibarat batu yang dilemparkan ke dalam mulut-mulut pemberontak. Mereka tidak mampu membalas jawaban Utsman karena ternyata beliau tidak melakukan kebid’ahan. Bahkan hal itu telah dilakukan Nabi dan Umar bin Al-Khaththab sebelumnya, yang semua itu tidak lain untuk kepentingan kaum muslimin, menjaga unta-unta zakat.

Ahlu Mesir dan Irak terprovokasi untuk memberontak Khalifah


Massa yang besar dari penduduk Mesir dan Irak terkumpul, terbawa arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah berkhianat.

Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka mendengar bahwa Utsman bin ‘Affan berada di luar Madinah, maka mereka bersegera menemui ‘Utsman bin ‘Affan, di awal-awal bulan Dzulqa’dah 35 H.

Dengan penuh kearifan, keteduhan, dan kasih sayang, Utsman bin ‘Affan menemui mereka, dan terjadilah dialog ilmiah, membantah syubhat-syubhat juhhal. Dengan taufik Allah, Utsman mendinginkan hati-hati mereka yang membara. Beliau juga membuat kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian yang menentramkan jiwa mereka. Mereka pun ridha untuk kembali ke negeri mereka.

Meninggalkan Utsman dan kisah surat palsu

Masa yang tadinya penuh kebencian, merasa puas dengan jawaban-jawaban ‘Utsman dan kesepakatan tersebut. Mereka pun pergi untuk kembali ke negeri mereka.

Kenyataan ini membuat geram para penyulut fitnah. Mereka memutar otak dan mencari-cari jalan menyalakan kembali api kebencian yang sempat padam yang sudah sangat lama mereka nanti. Dalam keadaan itu, segera mereka munculkan makar berikutnya yang demikian keji, yaitu: Surat palsu berisi kedustaan atas ‘Utsman bin ‘Affan.

Dalam perjalanan kembali ke Mesir, mereka berpapasan dengan seorang penunggang unta. Dia menampakkan bahwa dirinya melarikan diri, seolah-olah berkata: “Tangkaplah aku.” Mereka pun menangkapnya dan bertanya: “Ada apa dengan engkau?” Dia katakan: “Aku utusan Amirul Mukminin kepada amir Mesir.” Segera mereka periksa orang ini hingga didapatkan padanya sebuah surat atas nama ‘Utsman bin Affan, berisi perintah kepada amir Mesir agar menyalib, membunuh, dan memotong-motong tangan orang-orang Mesir setibanya mereka dari Madinah.

Kembali ke Madinah melakukan pengepungan

Dengan adanya surat palsu tersebut, api kebencian kepada khalifah kembali berkobar dalam dada-dada kaum yang bodoh. Mereka kembali menuju Madinah kemudian mereka kepung kediaman khalifah Ar-Rasyid Utsman bin ‘Affan. Mereka tidak lagi memercayai ‘Utsman meskipun telah bersumpah bahwasanya beliau tidak pernah mengetahui apalagi menulis surat tersebut.

Tahukah kita apa yang diperbuat bughat pada orang termulia di muka bumi saat itu dan ahli jannah yang masih bernafas di dunia? Mereka paksa Utsman untuk melepaskan kekhilafahannya. Terwujudlah apa yang disabdakan Rasulullah puluhan tahun silam akan datangnya masa di mana Utsman bin Affan dipaksa melepas kekhilafahan.

Dengan tanpa kasih sayang, mereka halangi Utsman untuk shalat di Masjid Nabawi padahal beliaulah yang memperluas masjid di masa Rasulullah. Mereka halangi Utsman untuk minum dari air segar sumur Ar-Rumah yang beliau wakafkan untuk kaum muslimin. Caci-maki dan cercaan tertuju kepada beliau.

Seperti inikah Islam mengajarkan untuk berbuat kepada seorang sahabat mulia, yang menghabiskan masa hidupnya untuk membela Rasulullah, meninggikan kalimat Allah? Seperti inikah balasan kepada seorang sahabat yang matanya tak pernah kering dari air mata karena takutnya kepada Allah? Seperti inikah Islam mengajarkan untuk bersikap kepada seorang yang telah senja, di umurnya yang ke-83? Itukah kasih sayang? Seperti inikah jihad? Laa haula wala quwwata illa billah! Tidak ada yang mampu kita ucapkan melainkan: Hasbunallahu wa ni’mal wakil.

Pembelaan sahabat

Sejatinya para sahabat hendak membela Utsman bin ‘Affan. Bahkan banyak di antara mereka menemani khalifah di rumahnya hingga hari terakhir pengepungan. Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan kedatangan banyak sahabat mengusulkan pembelaan dari kaum bughat. Di antara mereka adalah: Haritsah bin Nu’man, Al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Az-Zubair, Zaid bin Tsabit, Al-Hasan bin ‘Ali, Abu Hurairah, dan lainnya.

Namun Utsman bin ‘Affan telah mengambil sebuah keputusan dan sikap yang merupakan wasiat Rasulullah untuk bersabar dan tidak melepaskan kekhilafahan. Beliau tetap kokoh memegang sunnah (wasiat) Rasulullah saat api fitnah telah berkobar di hadapannya. Abu Hurairah sempat datang dengan pedangnya untuk melakukan pembelaan. Namun Utsman berkata: “Wahai Abu Hurairah, sukakah engkau jika banyak manusia terbunuh dan aku juga terbunuh? Sungguh demi Allah, seandainya engkau membunuh seorang manusia, seakan-akan engkau membunuh manusia seluruhnya.” Pergilah Abu Hurairah melaksanakan nasihat ‘Utsman.

Dari Rasulullah, Utsman mengetahui syahadah yang akan diperolehnya. Suatu hari Rasulullah memanggil Utsman bin ‘Affan. Beliau bisikkan rahasia akan apa yang akan menimpanya dan apa yang seharusnya dilakukan saat fitnah menimpa. Rahasia itu memang tidak banyak tersingkap, melainkan beberapa yang dikabarkan Utsman bin ‘Affan di hari pengepungan.

Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/51-52) meriwayatkan bahwa saat sahabat menawarkan Utsman bin Affan untuk memerangi pemberontak, mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau perangi mereka?” Dengan penuh keyakinan beliau katakan: “Tidak (aku tidak akan perangi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah telah mengambil janji dariku, dan aku sabar di atas janji itu.” Berkali-kali sahabat Rasulullah menawarkan perang melawan pemberontak. Dengan penuh kearifan Utsman menolak, dan mengingatkan mereka untuk taat kepadanya sebagai khalifah. Suatu ketaatan yang telah Allah perintahkan atas mereka.

Saudaraku, rahimakumullah. Sekali lagi kita ingatkan, bahwasanya keputusan Utsman bin ‘Affan, bukanlah kelemahan beliau. Bukan pula ketidakberanian sahabat untuk melakukan peperangan. Tetapi, semua keputusan dan sikap Utsman bin ‘Affan sesungguhnya adalah bagian dari wasiat Rasulullah kepadanya.

Mungkin ada di antara kita bertanya, kenapa Utsman tidak melepaskan kekhilafahan agar terhindar dari fitnah ini? Bukankah kaum pemberontak hanya ingin menggulingkan Utsman dari kekhilafahan? Ketahuilah, hal ini pun telah Rasulullah n wasiatkan dalam hadits yang shahih. Rasul bersabda: “Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu untuk melepaskan pakaian yang Allah l pakaikan kepadamu (yakni kekhilafahan), janganlah engkau lakukan.” Dari riwayat-riwayat shahih terkait dengan fitnah pembunuhan Utsman bin ‘Affan, disimpulkan bahwa sikap yang beliau pilih sesungguhnya kembali pada beberapa alasan. Di antaranya: Wasiat Rasulullah kepada ‘Utsman untuk tidak melepaskan kekhilafahan dan menghadapi fitnah dengan kesabaran.

Beliau tidak ingin menjadi orang yang pertama kali menumpahkan darah kaum muslimin, dan menjadi penyebab peperangan di antara mereka. Sebagaimana tampak dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad, beliau berkata: “Aku tidak ingin menjadi orang pertama sesudah Rasulullah yang menyebabkan pertumpahan darah di tengah umatnya.” Utsman bin ‘Affan yakin bahwa yang diinginkan pemberontak adalah dirinya, maka beliau tidak ingin menjadikan kaum muslimin sebagai tameng. Sebaliknya, beliau ingin menjadi tameng untuk kaum muslimin agar tidak terjadi pertumpahan darah di tengah mereka.
Utsman yakin bahwa fitnah akan redam dengan wafatnya beliau, sebagaimana kabar yang Rasulullah sabdakan. Beliau juga merasa waktunya telah dekat di saat beliau berumur 83 tahun, diperkuat dengan mimpinya bertemu Rasulullah n di hari pengepungan. Nasihat Abdullah bin Salam kepada beliau. Abdullah berkata:

“Tahanlah, tahanlah (dari peperangan) karena dengan itu hujjahmu lebih mendalam.”

Syahadah yang Rasulullah kabarkan itu diraih Utsman bin Affan

Pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, di saat sebagian besar sahabat menunaikan ibadah haji, pengepungan berlanjut. Hari itu ‘Utsman berpuasa, setelah di malam harinya bertemu Rasulullah, dan dua sahabatnya: Abu Bakar serta ‘Umar, dalam mimpi yang membahagiakan. Di mimpi itu Rasulullah bersabda: “Wahai ‘Utsman, berbukalah bersama kami.” Utsman bin ‘Affan pun terbangun dengan merasa bahagia dan berpuasa.

Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka adalah Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya.

Dengan sangat, Utsman bin ‘Affan meminta mereka untuk keluar dari rumah, menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para sahabat melakukan pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau. Beliau tidak ingin ada sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini. Setelah permintaan Utsman bin ‘Affan yang sangat kepada para sahabat, akhirnya mereka meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak ada yang tersisa kecuali keluarga Utsman bin ‘Affan termasuk istri beliau, Na’ilah bintu Furafishah.

Amirul Mukminin, Utsman bin ‘Affan tetap di atas wasiat Rasul untuk tidak melepaskan kekhilafahan, baju yang telah Allah pakaikan untuknya. Beliau pun tetap meminta sahabat untuk tidak melakukan perlawanan, mengingat besarnya fitnah dan khawatir darah kaum muslimin tertumpah. Inilah sikap yang terbaik: kesabaran, keyakinan, dan keteguhan di atas petunjuk Rasulullah.

Utsman bin ‘Affan, beliau duduk bersimpuh di hadapan mushaf. Beliau membacanya dalam keadaan berpuasa di hari itu. Tubuh yang telah tua, rambut yang telah memutih, kulit yang telah mengeriput, usia yang telah dihabiskan untuk Allah, berjihad menegakkan kalimat Allah di muka bumi, kini duduk mentadaburi kalam Rabbul ‘Alamin. Beliau perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan harapan para pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan beliau beribadah kepada Allah, membaca Al-Qur’an.

Tetapi mereka ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana pengepungan dan kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Orang ini datang dan menarik jenggot Ustman. Ustman dengan tenang berkata

"Jangan sentuh jenggotku karena sesungguhnya ayahmu dulu menghormati jenggot ini." 

Kemudian pemberontak itu melepaskannya karena dia ingat bahwa bukan hanya ayahnya yang menghormati, tapi juga Rasulullah S.A.W. dan setiap orang menghormati Utsman bin ‘AffanUtsman bin ‘Affan pun berkata mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada Kitabullah!” Diapun pergi meninggalkan Utsman bin ‘Affan, hingga datang orang lain dari bani Sadus. Dan ketika Ustman R.A. melihat nya datang, dia segera mengencangkan tali pengikat celananya, karena dia tidak ingin auratnya terlihat di saat-saat terakhirnya.

Dengan penuh keberingasan, dia cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman bin ‘Affan. Amirul Mukminin menlindungi diri dari pedang dengan tangannya yang mulia, hingga terputus bercucuran darah. Saat itu Utsman berkata:

“Demi Allah, tangan (yang kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat surat-surat mufashshal.” Ya… beliau adalah pencatat wahyu Allah dari lisan Rasulullah. Namun ucapan Utsman yang sesungguhnya nasihat –bagi orang yang memiliki hati– tidak lagi dihiraukan. Darah mengalir pada mushaf tepat mengenai firman Allah: “Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)

Kemudian istrinya, Na'ilah berlari untuk melindungi Utsman. Bukan hanya itu, jari jemari Na’ilah bintu Furafishah terpotong saat melindungi suaminya dari tebasan pedang kaum bughat. Subhanallah, cermin kesetiaan istri shalihah menghiasi tragedi berdarah di negeri Rasulullah. Kemudian mereka menghujam dalam perut Utsman bin ‘Affan dengan pedang! Lalu salah satu pemberontak menerjang dada Utsman bin ‘Affan  dan menusuknya 6 KALI! Dengan demikian wafatlah Ustman R.A. pada umur 83 tahun.
Terwujudlah sabda Rasulullah puluhan tahun silam. Ketika itu, Rasulullah bersama dengan Abu Bakr, Umar, dan Utsman bin ‘Affan di atas Uhud, tiba-tiba Uhud bergoncang. Rasul pun bersabda:

“Diamlah wahai Uhud, yang berada di atasmu adalah seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.” Allahu Akbar! Berbukalah Utsman bin Affan bersama Rasulullah sebagaimana mimpinya di malam itu. Ta’bir mimpi pun tersingkap sudah. Wafatlah khalifah Ar-Rasyid, di hari Jum’at, dalam usia 83 tahun. Pergilah manusia termulia saat itu menemui ridha Allah dan ampunan-Nya. Menuju jannah-Nya.

Seusai pembunuhan, berteriaklah laki-laki hitam pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan, mengangkat dan membentangkan dua tangannya seraya berkata “Akulah yang membunuh Na’tsal! “Beberapa lama setelah Utsman bin ‘Affan dibunuh, para pemberontak tidak memperbolehkan seorang pun untuk menguburkan jenazahnya. Pada akhirnya, istri Rasulullah, Umayya Habiba menaiki tangga masjid Rasulullah dan berkata

"Wahai pemberontak! Jika kalian tidak mengizinkan kami untuk mengubur Utsman bin ‘Affan, maka AKU ISTRI RASULULLAH S.A.W., AKU KEHENDAK RASULULLAH S.A.W., AKU KEKASIH RASULULLAH S.A.W., AKU IBU ORANG-ORANG BERIMAN, akan turun ke jalan Madinah tanpa menutupi rambutku dan AKU SENDIRI yang akan menguburkan Utsman bin ‘Affan !"

Dia tahu bahwa tidak ada satu pemberontak pun yang berani terhadap istri Rasulullah S.A.W. Ka'ab ibn Malik R.A. meriwayatkan:  "Demi Allah, jika Umayya ibn Habiba R.A. turun ke jalanan Madinah tanpa menutupi rambutnya, maka Allah akan MENURUNKAN HUJAN BATU DARI LANGIT!" Dan ketika para pemberontak mendengar ancaman dari istri Rasulullah S.A.W., mereka membolehkan jenazah Ustman dikuburkan oleh empat orang: Hasan R.A., Hussain R.A., Ali R.A., dan Muhammad ibn Talha R.A. Dan ketika mereka membawa jenazah Ustman untuk dikuburkan, para pemberontak mulai melempari batu ke jenazah Utsman bin ‘Affan
Amrita bin Arta meriwayatkan

"Ketika aku dan Aisyah R.A. pulang dari berhaji, kami melihat Al-Qur'an dimana darah Ustman terjatuh ke atasnya pada ayat 'Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137).' Akibat dari kematian Ustman begitu besar, sampai-sampai Hasan (cucu Rasulullah) meriwayatkan: "Aku melihat kakekku (Rasulullah) di dalam mimpi, dan dia berdiri di hadapan Arsy Allah S.W.T. Dan inilah pertama kalinya aku melihatnya dalam mimpi dimana dia terlihat khawatir. Kemudian Abu Bakar R.A. datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Rasulullah S.A.W. Kemudian Umar R.A. datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Abu Bakar R.A.  Tidak lama setelahnya, Ustman R.A. datang dan wajahnya yang berlumuran darah. Tangannya menggenggam kepalanya dan dia berkata 'Wahai Rasulullah, tanyakan kepada mereka karena dosa apakah mereka menjagalku seperti seekor sapi?' Ketika Utsman bin ‘Affan berkata seperti ini, Arsy Allah mulai bergetar! Kemudian dua sungai darah mengalir dari Arsy Allah S.W.T." Pada hari kiamat, ada banyak orang yang gugur sebagai syuhada. Untuk para syuhada itu, tanah tempatnya meninggal dunia akan bersaksi, namun untuk Ustman ibn Affan, Al-Qur'an yang akan menjadi saksinya, karena dia meninggal dunia tepat di hadapan sebuah Al-Qur'an! Asyhadu an-La ilaha illallah, wa anna Muhammadan Rasulullah! Sabda Rasulullah bahwa Utsman akan meraih jannah dengan cobaan yang menimpanya benar-benar terjadi. Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan bahwa: “Rasulullah memerintahkan Abu Musa untuk memberi kabar gembira kepada Utsman bin ‘Affan dengan jannah, dengan ujian yang akan menimpanya.”
Akhir kehidupan pembunuh-pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan R.A

Orang-orang yang memberontak Utsman bin ‘Affan dan memiliki andil dalam pembunuhan khalifah yang terzalimi mendapat hukuman pedih dari Allah. Demikianlah akibat bagi mereka yang memusuhi wali-wali Allah. Benarlah firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi: “Barangsiapa menyakiti wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang dengannya…”
  • Khurqush bin Zuhair As-Sa’di dibunuh oleh ‘Ali bin Abi Thalib pada perang Nahrawan tahun 39 H.
  • ‘Alba’ bin Haitsam As-Sadusi dibunuh pada perang Jamal.
  • Amr bin Al-Hamaq Al-Khuza’i hidup hingga tahun 51 H, ia ditikam.
  • ‘Umair bin Dhabi’ yang mematahkan tulang rusuk Utsman bin ‘Affan, hidup hingga zaman Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, dia pun dibunuh. Demikian pula para pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan yang selain mereka.
Wallahu a’lam.

Kisah Pada Khalifah Utsman Bin Affan

Utsman bin Affan adalah seorang sahabat yang sangat menyayangi Allah SWT dan Rasulullah. Hal ini terlihat dari ketaatannya menjalankan perintah Allah SWT. Ia menggunakan malam hari untuk membaca Al-Quran, berdzikir, dan shalat malam. Tidak hanya dalam beribadah, Ustman juga banyak melakukan amal saleh untuk kemaslahatan umat. Ustman berasal dari keluarga yang kaya raya silsilah Bani Umayyah.

Utsman bin Affan dikenal sebagai orang yang berakhlak mulia dan berpendidikan tinggi. Kelebihan-kelebihan pada diri Utsman bin Affan tidak membuatnya sombong dan bersikap merendahkan orang lain. Setelah menginjak dewasa, Ustamn menjadi saudagar yang sukses. Dengan usahanya tersebut, Utsman bin Affan memiliki harta yang banyak. Sekalipun demikian, Utsman bin Affan bukan seorang saudagar yang menumpuk harta tanpa memberikan sedekah. Ia banyak menyedekahkan harta untuk fakir miskin. Ia juga hidup sederhana. Utsman bin Affan pernah menjamu banyak orang dengan hidangan yang lezat dan terlihat mewah, padahal dirumahnya ia hanya makan roti dengan minyak.

Pada masa Rasulullah masih hidup, pernah terjadi kekeringan yang menyebabkan sumur kaum muslim menjadi kering. Umat islam pun menjadi kekurangan air. Ketika itu, sebuah sumur milik orang Yahudi masih terdapat air. Kemudian, Rasulullah berkata, “Siapakah yang mau membeli sumur milik orang Yahudi itu ? Allah menyediakan surga bagi orang yang melakukannya”. Saat itu pula, Utsman bin Affan berseru, “Ya Rasulullah, aku bersedia membeli sumur itu”. Dengan demikian, kaum muslim dapat memanfaatkan air yang ada di telaga itu. Kisah kedermawanan Utsman bin Affan juga terjadi pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. Ketika itu, penduduk Madinah pernah mengalami kelaparan karena terjadinya kekeringan yang panjang. Mereka mengadu kepada Khalifah mengenai nasib mereka. Khalifah Abu Bakar meminta mereka bersabar dan berharap Allah segera memberikan kemudahan.

Pada pagi hari, kafilah niaga Utsman bin Affan datang ke Madinah dengan membawa seribu unta. Unta-unta itu memuat bahan-bahan makanan yang dibutuhkan oleh penduduk Madinah. Para pedagang pun menemui Ustman bin Affan. Ustman menanyakan keuntungan yang akan diberikan oleh para pedagang kepadanya. Salah seorang pedagang menjawab bahwa harga barang satu dirham dibeli dengan harga dua dirham. Namun, Ustman menolaknya. Pedagang yang lain menawarkan harga yang lebih tinggi. Ustman tetap menolaknya. Para pedagang terus memberikan tawaran yang tinggi hingga harga menjadi berlipat-lipat. Para pedagang berkata, “Tidak ada pedagang yang memiliki kemampuan membeli seperti kami. Siapakah pedagang yang member keuntungan lebih besar dari pada kami ? Ustman berkata, “Allah mampu mmeberikan keuntungan berpuluh kali lipat”. Ternyata, Ustman bermaksud mmeberikan barang daganganya bagi penduduk miskin di Madinah sebagai sedekah. Pada hari itu, kebutuhan seluruh fakir miskin di Madinah tercukupi.
Ustman Bin Affan Atau Dzun Nurain
Utsman bin Affan mendapat julukan Dzun Nurain yang artinya memiliki dua cahaya. Hal itu dikarenakan Utsman bin Affan menikah dengan dua putrid Rasulullah. Keduanya adalah Ruqayah dan Ummu Kultsum. Pada awalnya, Ustman bin Affan menikah dengan Ruqayah. Ketika itu, Ruqayah telah bercerai dengan Utbah yang merupakan anak Abu Lahab. Perceraian antara Ruqayah dan Utbah merupakan desakan dari Abu Lahab dan isterinya.

Hal ini mereka lakukan untuk menghina atau merendahkan keluarga Rasulullah SAW. Setelah perceraian itu, Rasulullah menikahkan Ruqayah dengan Ustman yang berakhlak mulia. Saat di Madinah, Ruqayah sakit parah dan akhirnya meninggal. Utsman bin Affan pun sangat sedih ditinggalkan oleh isteri yang sangat dicintainya. Selama Ruqayah sakit, Ustman merawat Ruqayah dengan sabar dan penuh kasih sayang. Kebetulan saat itu, Rasulullah menyeru umat Islam untuk berjihad memerangi musuh Allah. Utsman bin Affan dihadapkan oleh dua pilihan yang sulit. Ia berkeinginan untuk ikut serta berjihad. Namun, ia tidak tega meninggalkan isterinya yang sedang sakit parah. Akhirnya, Rasulullah mengizinkan Ustamn tidak ikut berperang. Ia tetap mengurus Ruqayah dan menemaninya hingga ia wafat. Setelah itu, Rasulullah menikahkan Ustamn dengan adik Ruqayah, Ummu Kultsum. Pernikahan Ustman dan Ummu Kultsum tidak berlangsung lama karena Ummu Kultsum juga meninggal.

Masa Kekhalifahan Ustman Bin Affan

Pada suatu masa, ketika Utsman bin Affan telah diangkat menjadi Khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khattab yang terbunuh. Sebelum wafat, Umar telah menunjuk enam orang sahabat. Hasil musyawarah itu menunjuk Ustman bin Affan sebagai Khalifah. Pada masa kekhalifahannya, ajaran Islam telah tersebar luas. Ketika itu, ajaran Nabi Muhammad telah menyebar ke wilayah Kaukasus, Afrika, Sind (di Asia Selatan dan Pulau-pulau di sekitar Laut Mediterania). Pada saat menjabat sebagai Khalifah, Ustman juga melakukan perluasan Masjid Nabawi. Perluasan itu adalah yang pertama kali dilakukan. Ustman sendiri mengeluarkan dana sebesar 20.000 dirham untuk memperluas Masjid tersebut. Perluasan masjid itu dilakukan karena masjid sudah tidak dapat menampung jamaah yang melaksanakan shalat. Inilah beberapa keutamaan pada masa pemerintahan Khalifah Ustman Bin Affan.
Pada suatu ketika, Hudzaifah bin Al-Yaman pulang dari perang di Armenia. Saat itu, ia merasa harus secepatnya menemui Utsman bin Affan. Saat berhadapan dengan Utsman bin Affan, Hudzaifah menyatakan kekhawatirannya tentang perbedaan cara membaca Al-Quran di kalangan umat di beberapa wilayah. Hudzaifah pernah mendapati umat muslim membaca Al-Quran disesuaikan dengan logat masing-masing wilayahnya. Hal itu menyebabkan perselisihan di antara mereka. Setelah mendapat laporan demikian, Utsman bin Affan memutuskan untuk melakukan pengumpulan Al-Quran. Kebijakan Utsman bin Affan itu didukung para sahabat. Ustman memerintahkan untuk menyalin lembaran-lembaran Al-Quran dalam satu mushaf. Selain mengumpulkan dan menyalinnya, susunan surat-surat juga ditertibkan. Bahasa dalam Al-Quran juga diturunkan dengan bahasa Quraisy. Dengan demikian, Al-Quran hanya dibaca dengan satu logat saja. Setelah itu, salinan Al-Quran yang telah diperbanyak disebarkan ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam.

Fitnah Terhadap Ustman Bin Affan

Tokoh utama yang mengakibatkan timbulnya fitnah terhadap Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba adalah orang Yahudi yang berpura-berpura memeluk agama Islam. Abdullah bin Saba dan pengikutnya bermaksud untuk menghancurkan Islam. Oleh karena itu, mereka menyebarkan fitnah keji terhadap Ustman. Ketika itu, penganut agama Islam berkembang pesat. Namun, di antara pemeluk agama Islam itu masih banyak yang belum memahami ajaran Islam dengan baik. Mereka tidak memiliki ilmu yang cukup, fanatic terhadap suatu pendapat, dan berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran islam. Orang-orang seperti ini termakan oleh hasutan Abdullah bin Saba dan pengikutnya. Abdullah bin Saba menyebarkan beberapa fitnah keji terhadap Utsman bin Affan. Melalui fitnah-fitnah itu, Abdullah berhasil mengajak orang-orang muslim untuk melakukan tindakan makar terhadap pemerintahan Ustman bin Affan.

Fitnah itu adalah berupa tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Utsman bin Affan dituduh lebih mengutamakan keluarganya karena ia mengganti sahabat-sahabat dengan saudara-saudaranya yang jelas-jelas kualitasnya lebih rendah. Sebenarnya, pengangkatan saudara-saudaranya itu dilakukan karena pertimbangan keahlian dan pengabdian mereka, bukan karena hubungan saudara. Selain itu, terdapat fakta-fakta yang dapat digunakan sebagai bantahan. Misalnya, Rasulullah SAW pernah mengangkat Usamah bin Zaid, padahal ketika itu ada Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang lebih senior. Bahkan sejak dahulu, Rasulullah mengangkat Bani Umayyah sebagai pejabat-pejabat penting dalam pemerintahan. Ali bin Abu Thalib juga mengangkat Abbas dan anaknya sendiri sebagai Gubernur di suatu wilayah. Ustman berkata, “Aku tidak mengangkat seorang pun, kecuali Rasulullah pernah mengangkatnya”.

Utsman bin Affan juga difitnah telah banyak member harta kepada kerabatnya. Sebenarnya, Utsman bin Affan sedang melaksanakan perintah Allah dalam Surat Al-Isra ayat 26, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. Terhadap fitnah tersebut, Ustman berkata, “Sesungguhnya kedua pendahuluku (Abu Bakar dan Umar bin Khattab) telah bersikap keras kepada dirinya dan keluarganya, padahal Rasulullah SAW selalu memberikan sedekah yang banyak terhadap keluarga dekatnya. Aku berada di tengah-tengah keluarga yang serba kekurangan. Oleh karena itu, mereka adalah tanggung jawabku”. Akibat fitnah-fitnah itu, orang-orang mengepung rumah Ustman. Mereka menuntut agar gubernur-gubernur diganti. Ustman hanya mengganti gubernur Mesir. Sesuai dengan permintaan mereka, gubernur Mesir, Abdullah bin Saad diganti oleh Muhammad bin Abu Bakar.

Setelah itu, mereka kembali ke wilayah tempat tinggal masing-masing. Namun, orang-orang munafik itu tidak tinggal diam. Di tengah perjalanan pulang, mereka bertemu dengan seseorang yang membawa surat dari Ustman bin Affan. Isi surat itu adalah perintah Ustman bin Affan kepada Abdullah bin Saad untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Orang-orang itu menjadi murka dan kembali ke rumah Utsman bin Affan di Madinah. Beberapa di antara mereka menghadap Utsman bin Affan. Ketika diperlihatkan surat itu, Ustman bersumpah demi Allah bahwa dirinya tidak menulis surat itu. Setelah diperiksa, penulis surat itu adalah Marwan bin Hakam. Kali ini, mereka menuntut dua hal. Pertama, Utsman bin Affan harus menghukum Marwan bin Hakam dengan hukuman qishas, yaitu hukuman mati bagi orang yang telah membunuh orang lain. Kedua, Ustman harus meletakkan jabatannya sebagai Khalifah. Tuntutan pertama ditolaj oleh Utsman bin Affan dengan alasan Marwan baru merencanakan membunuh dan belum melaksanakan rencana itu. Tuntutan kedua juga ditolak oleh Ustman. Ia menolaknya sesuai dengan pesan Rasulullah, “Bahsawanya engkau Ustman akan mengenakan baju kebesaran (kekuasaan). Apabila engkau telah mengenakan baju itu, janganlah engkau lepaskan”. Penolakan tuntutan itu membuat orang-orang melanjutkan pengepungan terhadap Utsman bin Affan hingga empat puluh hari. Ketika itu, Ustman dijaga oleh sahabat-sahabatnya, seperti Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awwam, Muhammad bin Thalhah, Hasan dan Husein. Dalam keadaan terkepung, Ustman yang lembut tetap bersabar. Suatu ketika, beberapa pengepungan berhasil masuk ke rumah Ustman. Mereka membunuh Ustman yang sedang membaca Al-Quran. Akhirnya, Utsman bin Affan yang lemah lembut, dermawan, calon penghuni surga dan pemilik dua cahaya itu mati syahid.

Kisah Khalifah Ali bin Abi Thalib



Ali bin Abi Thalib, semoga ridha Allah senantiasa menyertainya, khalifah Ar Rasyidin yang keempat. Sepupu sekaligus menantu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Pembawa panji kehormatan dari Nabi pada saat perang Khaibar. Satu dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Bahkan Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda tentang dirinya,
أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي
Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya tidak ada nabi setelahku” (HR. Muslim no. 4418).
Ali bin Abi Thalib, semoga ridho Allah senantiasa menyertainya, terdidik dengan sifat-sifat yang luhur dan mulia. Di bawah asuhan Rasul shallallahu’alaihiwasallam. Di antara sikap tersebut adalah, rasa tanggung jawab atau amanah yang nantinya akan sangat berguna saat dia menjadi pemimpin.
Ketika Nabi shallallahu’alaihiwasallam hijrah ke Madinah, beliau meminta Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan barang-barang titipan kaum Quraisy. Kebiasaan kaum Quraisy dahulu, mereka menitipkan barang berharga mereka kepada orang yang dipandang amanah. Nabi shallallahu’alaihiwasallam orang yang dikenal amanah di kalangan mereka. Sampai mereka menjuluki beliau dengan “Al-Amin” (orang yang dapat dipercaya).
Ali pun menjalankan pesan Rasulullah tersebut dengan baik, sesuai yang perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. (Tarikh al Khulafa, hal. 157). Tekad beliau dalam membumikan di muka bumi amat tinggi. Lihatlah bagaimana perjuangan beliau saat hari-hari peperangan Khaibar. Beliau membulatkan tekad untuk tetap ikut dalam barisan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menuju Khaibar. Padahal saat itu mata beliau sedang sakit parah. Bukan perjuangan ringan saat harus berhadapan hembusan debu sahara dan jauhnya perjalanan.
Salamah bin al Akwa’ radhiyallahu’anhu, menceritakan tentang kegigihan Ali radhiyallahu’anhu ketika itu, “Awalnya Ali berkeinginan untuk tidak ikut ke Khaibar terlebih dahulu. Karena sakit mata yang dideritanya cukup parah. Namun Ali bin Abi Thalib mengatakan,
أنا أتخلف عن رسول الله
“Tidak, saya tidak ikut serta bersama Rasulullah”
Akhirnya Ali bin Abi Thalib memutuskan untuk bergabung ke dalam barisan Rasulullahshallallahu’alaihi wasallam. Kemudian di saat senja di hari-hari perang Khaibar, yang esuk harinya dibukalah kota Khaibar, Nabi shallallahu’alaihi wasallambersabda,
لأعطين الراية أو قال ليأخذن غداً رجل يحبه الله ورسوله أو قال يحب الله ورسوله
Esok hari, bendera ini akan saya berikan kepada seorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” Atau beliau bersabda, “Ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya“.
Ternyata Ali bin Abi Thalib lah orang yang beruntung mendapatkan bendera tersebut. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam memberikan bendera tersebut kepada Ali bin Abi Thalib. (Shahih Bukhari: Kitab al Maghozi 3: 137, dalam Manhaj Ali fid Dakwati ilallah).
Beliau sosok pemimpin sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Kedudukannya sebagai khalifah tak menghalanginya untuk berbaur dengan masyarakat. Pernah suatu ketika dikisahkan, beliau memasuki sebuah pasar, dengan mengenakan pakaian setengah betis sembari menyampirkan selendang. Beliau mengingatkan para pedagang supaya bertakwa kepada Allah dan jujur dalam bertransaksi. Beliau menasihatkan, “Adilah dalam hal takaran dan timbangan” (Siyar a’laam an nubala’28: 235).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa suatu hari beliau masuk pasar sendirian, padahal posisi beliau seorang Khalifah. Beliau menunjuki jalan orang yang tersesat di pasar dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sembari menyambangi para pedagang, beliau mengingatkan mereka akan firman Allah ta’ala,
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Al Qashas: 83). “Ayat ini,” jelas Ali, “turun berkenaan orang-orang yang berbuat adil dan tawadu’ (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 282).
Indahnya, seorang pemimpin menyambangi rakyat kecil. Lalu mengingatkan mereka tentang akhirat. Karena kesejahteraan suatu negeri, tak hanya berporos pada hal-hal duniawi saja. Namun, hubungan rakyat dengan Sang Khalik adalah faktor utama kesejahteraan suatu bangsa. Dharar bin Dumrah menceritakan, saat diminta sahabat Muawiyah radhiyallahu’anhu untuk bercerita di hadapan beliau tentang kepribadian sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
“Ali” terang Dharar, “adalah orang yang visinya jauh ke depan, lelaki yang kuat, bicaranya jelas, keputusannya adil, menguasai banyak cabang ilmu, dan perkataannya bijak. Menjauh dari hingar-bingar dunia, bersahabat dengan sunyinya malam (untuk beribadah), mudah menangis (karena takut kepada Allah), suka pakaian pendek (sederhana), makanannya makanan rakyat kecil. Beliau di kalangan kami seperti sudah bagian dari kami. Bila dimintai beliau menyanggupi dan bila diundang beliau datang. Namun kedekatannya dengan kami dan akrabnya kami dengan beliau, kami tetap merasa segan dengan beliau.
Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin yang memuliakan para alim ulama, tidak menjauh dari orang-orang miskin. Dalam kepemimpinan beliau, orang yang kuat tak bisa sekehendak melakukan kezaliman, dan orang yang lemah tidak khawatir akan keadilannya” (Al Khulafa ar RasyidunAli bin Abi Thalib hal: 14-15).
Saat menjadi khalifah, keadilan benar-benar tersebar. Bahkan tak hanya kaum muslimin yang merasakan, orang-orang non muslim juga merasakan keadilan tersebut.
Pada saat Ali bin Abi Thalib berada di Sifin, baju besi beliau diambil orang. Ternyata baju besi itu dibawa oleh seorang Nasrani. Lalu Ali bin Abi Thalib mengajaknya mendatangi seorang hakim, untuk memutuskan kepemilikan baju besi tersebut. Hakim tersebut adalah utusan Ali untuk bertugas di daerah tersebut. Namanya Syuraih. Di hadapan sang hakim, orang Nasrani tetap tidak mengaku kalau baju besi itu milik Ali.
“Baju besi ini milikku. Amirul Mukminin sedang berdusta”.
Lalu Syuraih bertanya kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, “Apakah Anda memiliki bukti ya Amirul Mukminin?”
Ali bin Abi Thalib pun tertawa senang, melihat sikap objektif yang dilakukan hakim ,”Kamu benar ya Syuraih. Saya tidak ada bukti.” kata Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
Akhirnya hakim memutuskan baju besi tersebut milik orang Nasrani. Sidang pun usai. Setelah berjalan beberapa langkah, si Nasrani tadi berkata kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu,
“Aku menyaksikan bahwa hukum yang ditegakkan ini adalah hukumnya para nabi. Seorang Amirul Mukminin (penguasa kaum mukmin), membawaku ke hakim utusannya. Lalu hakim tersebut memenangkanku! Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan baju besi ini, sejujurnya, milik Anda wahai amirul mukminin.” Lalu Ali meng-hibahkan baju tersebut untuknya (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 281-282).
Demikian sekelumit tentang kepribadian amirul mukminin; Ali bin Abi Thalib ketika dalam masa kepemimpinan beliau. Semoga menjadi pelajaran untuk kita bersama.

Friday 13 November 2015

Kisah Pidato Ali Bin Abi Thalib

Hubungan Khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib dikenal sangat erat.  Dalam kitab Nahjul Balaghah, kitab yang diyakini kumpulan pidato Ali, dikatakan bahwa Ali bin Abi Thalib memuji Abu Bakar dan Umar sebagai Khalifah.
Dr. ‘Aidh Al-Qarni dan Dr. Muhammad Al-Hasyimi Al-Hamdi mengutip pidato Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu di saat meninggalnya Khalifah Umar Bin Khatab; “Allah merahmatimu wahai Abu Bakar. Engkau adalah orang pertama yang memeluk Islam. Orang yang paling ikhlas dalam beriman. Orang yang paling kuat keyakinan. Orang berada yang paling mulia dan orang yang paling melindungi Rasul Allah. Orang yang dekat dengan Rasul Allah akhlaknya,  kemuliaannya,  petunjuknya dan karakternya. Semoga Allah memberimu pahala kebaikan atas Islam,  Rasul Allah dan kaum muslimin. Engkau membenarkan Rasul Allah saat orang-orang mengingkari. Engkau mendarmakan hartamu saat orang-orang lain kikir. Engkau berdiri bersamanya saat orang-orang lain diam. Allah menamakanmu Shiddiqan (yaitu yang datang dgn membawa kebenaran dan dia membenarkan. Mereka adalah orang-orang yang muttaqun). Orang-orang menginginkan Muhammad dan Muhammad menginginkanmu. Demi Allah engkau adalah benteng Islam dan siksaan bagi kaum kafirin. Hujjah-mu tidak menurun dan nalarmu tidak melemah. Dirimu tidak pernah takut. Engkau bagaikan gunung yang tidak goyah oleh hembusan badai. Engkau seperti halnya sabda Rasul : “Badanmu lemah namun kukuh dalam perintah Allah. Engkau adalah orang yang rendah hati namun mulia dihadapan Allah. Mulia di muka bumi dan besar di hadapan kaum muslimin. Tidak seorangpun di hadapanmu berambisi dan tidak seorangpun meremehkan. Orang yang kuat di hadapanmu lemah sampai engkau mengembalikan hak orang lain dari padanya. Orang yang lemah di hadapanmu kuat sampai engkau mengembalikan haknya. Semoga Allah tidak menjauhkan pahalamu atas kami dan tidak pula Allah menyesatkan kami setelah kepergianmu..”
Semoga Allah meridhoi Amirul Mukminin,  Ali bin Abi Thalib dan Amirul Mukminin,  Abu Bakar Shiddiq r.a. (Dikutip dari buku ‘Mawaddah Ahlu Al-Bait ‘inda Ahli Al-Sunnah’ oleh Dr. ‘Aidh Al-Qarni dan Dr. Muhammad Al-Hasyimi Al-Hamdi).*

Kisah Kepemimpinan Abu Bakar Ash Shiddiq

Sepeninggal Rasulullah Saw, ada yang menjadi khalifah, pengganti Rasulullah Saw dalam kepemimpinan umat, dalam rangka menjalankan pemerintahan dengan al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Dari merekalah kita bisa memperoleh banyak pelajaran bagaimana meneladani Rasululah Saw dalam masalah kepemimpinan dan pemerintahan. Tulisan ini menguraikan sosok kepemimpinan salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang paling utama, pengganti beliau Saw mengimami sholat, dan pengganti beliau Saw dalam kepemimpinan negara dan umat Islam sepeninggal beliau Saw, yakni Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq . Cerdas, Supel, Jujur Dan Berani Menurut Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah Nabawiyah, Juz I/249-250, Abu Bakar Ash Shiddiq  dalah putra Abu Quhafah. Nama aslinya Abdullah, panggilannya Atiq (sang Tampan) lantaran wajahnya yang tampan dan cakap orangnya. Tatkala masuk Islam, Abu Bakar Ash Shiddiq. menampilkan keislamannya, dan mengajak orang kepada Allah dan Rasul-Nya. Dakwah Abu Bakar ini cukup efektif mengingat ia adalah seorang Quraisy yang yang supel dalam pergaulan, disukai dan diterima, seorang pebisnis, berbudi pekerti baik. Orang-orang biasa datang padanya dan bergaul dengannya untuk banyak urusan lantaran ilmu yang dimilikinya, bisnisnya, dan baik pergaulannya. Sejumlah sahabat yang masuk Islam di tangan Abu Bakar antara lain adalah Utsman bin Affan r.a., Zubair bin Awwam r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Saad bin Abi Waqash r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah orang yang cerdas, mudah mengerti dakwah yang disampaikan Rasulullah Saw sehingga ia pun cepat membenarkan dan meyakini apa yang dikatakan beliau Saw dan masuk Islam. Ibnu Hisyam (idem, hal 252) mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: “Tidaklah aku mengajak seseorang kepada Islam melainkan ia tidak langsung menjawab, masih pikir-pikir, dan masih ragu-ragu, kecuali Abu Bakar bin Abi Quhafah. 
Tatkala aku berbicara dengannya, ia tidak menunda-nunda (pembenarannya) dan ia tidak ragu-ragu.”. Tatkala Nabi Saw diperjalankan oleh Allah SWT dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, tidak sedikit orang yang langsung menolak kabar dari beliau mentah-mentah, bahkan ada sebagian kaum muslimin yang murtad, atau masih ragu-ragu, Abu Bakar secara cerdas membenarkannya dan mengatakan: “Jangankan kabar dari Muhammad Saw bahwa di berjalan di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqshaa, sedangkan kabar yang diperolehnya dari langit dalam sekejap saja saya terima.” Dengan keyakinan itu pula Abu Bakar Ash Shiddiq siap dibina dengan Islam dan siap berjuang untuk Islam. Abu Bakar berani dan siap mengambil resiko berhadapan dengan Quraisy dalam mendakwahkan Islam. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wan Nihayah menuturkan: Tatkala Rasulullah Saw melaksanakan perintah Allah SWT untuk memperkenalkan kelompok dakwahnya secara terang-terangan (lihat QS. Al Hijr … ), dengan cara membentuk dua barisan yang dikepalai Hamzah r.a. dan Umar r.a. menuju Ka’bah, maka di situlah, di depan perwakilan para kabilah di Makkah, Abu Bakar Ash Shiddiq. berpidato. Dan orang-orang Quraisy pun memukulinya sampai mukanya babak belur dan pingsan. Namun setelah siuman, yang ditanyakan pertama kali adalah: Bagaimana keadaan Rasulullah? Pantaslah ia mendapatkan gelar As Shiddiiq, artinya yang lurus, yang benar, yang membuktikan kebenaran ucapannya dengan perbuatan. Pidato Pertama Sebagai Khalifah Pertama Setelah pembaiatan Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai Khalifah, beliau r.a. berpidato: “Hai saudara-saudara! Kalian telah membaiat saya sebagai khalifah (kepala negara). Sesungguhnya saya tidaklah lebih baik dari kalian. Oleh karenanya, apabila saya berbuat baik, maka tolonglah dan bantulah saya dalam kebaikan itu; tetapi apabila saya berbuat kesalahan, maka tegurlah saya. Taatlah kalian kepada saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian mentaati saya, apabila saya berbuat maksiat pada Allah dan Rasul-Nya.” (lihat Abdul Aziz Al Badri, Al Islam bainal Ulama wal Hukkam). Pidato khalifah Abu Bakar r.a. di atas menunjukkan bahwa beliau sebagai khalifah tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang yang suci yang harus diagung-agungkan. Tak ada dalam kamus beliau: The chaliphate can do no wrong! Beliau justru mengedepankan supremasi hukum syariah, dan menjadikan loyalitas dan ketaatan warga negara padanya adalah satu paket dalam ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Beliau menjadikan syariah Allah sebagai standar untuk menentukan benar dan salah yang harus diikuti tidak hanya oleh rakyat, tapi juga oleh penguasa. Apa yang beliau nyatakan di atas jelas adalah pengejawantahan dari pemahaman beliau pada firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisaa' : 59). Juga adalah refleksi dari pemahaman beliau kepada hadits Rasulullah Saw: “Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam bermaksiat kepada Allah, dan tidak ada ketaatan kepada orang yang maksiat kepada siapa saja yang berbuat maksiat.” [HR. Ahmad, Hakiem, dan Abu Dawud]. Lembut Tapi Tegas Sejak sebelum Islam Abu Bakar r.a. terkenal sebagai orang baik, lembut hatinya, gemar menolong dan suka memberi maaf. Dan setelah Islam dan berkuasa sebagai khalifah pengganti Rasul dalam kepemimpinan negara dan umat, tentunya tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq. adalah orang yang betul-betul memahami sabda Rasulullah Saw: “Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan pemerintahan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepadanya.” [HR. Muslim]. Namun sebagai Khalifah, beliau wajib memerintah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan wajib menjaga agar supremasi hukum syariah tetap terjaga. Oleh sebab itu, dalam rangka mempertahankan kedaulatan hukum syariah, tidak segan-segan beliau mengambil tindakan tegas bagi siapa saja yang hendak merobohkannya. Ini seperti yang beliau lakukan kepada sebagian kaum muslimin yang murtad dan tidak mau membayar zakat begitu mendengar berita wafatnya Rasulullah Saw. Sekalipun para sahabat yang diminta pendapatnya masih mentolerir tindakan orang-orang yang tidak mau membayar zakat itu selama mereka masih sholat, namun Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq tetap dalam pendiriannya. Di hadapan kaum muslimin beliau berpidato: “Wahai kaum muslimin, ketahuilah saat Allah mengutus Muhammad, kebenaran itu (Al Islam) selalu diremehkan orang dan Islam dimusuhi sehingga banyak orang yang enggan masuk Islam sebab takut disiksa. Namun Allah lalu menolongnya sehingga seluruh bangsa Arab dapat disatukan di bawah naungannya. Demi Allah, aku akan tegakkan agama ini dan aku akan berjuang fi sabilillah sampai Allah memberikan kemenangan atau Allah akan memberikan surga bagi orang yang terbunuh di jalan Allah dan akan memberi kejayaan bagi orang yang mendapatkan kemenangan sehingga ia akan dapat menjadi hamba yang berbakti dengan aman sentausa. Demi Allah, jika mereka tidak mau membayar zakat, meskipun hanya seutas tali, pasti akan aku perangi meskipun jumlah mereka banyak sampai aku terbunuh, sebab Allah tidak memisahkan kewajiban zakat dari kewajiban sholat.” (lihat Al Kandahlawy, Hayatus Shahabat, juga Kanzul Ummal). Metode Kepemimpinan Abu Bakar ash Sidiq Khulafaur Rasyidin adalah pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad saw wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang demokratis. Nabi Muhammad saw tidak meninggalkan wasiat mengenai siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan itu kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balaikota  Bani Sa’idah tepatnya di Madinah, mereka bermusyawarah menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot sebab masing-masing pihak baik Muhajirin atau Anshar sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyah tinggi, akhirnya Abu Bakar yang terpilih. 

Semangat keagamaan Abu Bakar Ash Shiddiq memperoleh penghargaan tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya. Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, maka Abu Bakar disebut Khalifah Rasulullah (Pengganti Rasul). Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Setelah selesai orang membaiat, Abu Bakar Ash Shiddiq pun berpidato sebagai sambutan atas kepercayaan orang banyak kepada dirinya, penting dan ringkas : “Wahai manusia, sekarang aku telah menjabat pekerjaan kami ini, tetapi bukanlah aku orang yang lebih baik dari pada kamu. Jika aku lelah berlaku baik dalam jabatanku, sokonglah aku, tetapi kalau aku berlaku salah, tegakkanlah aku kembali, kejujuran adalah suatu amanat, kedustaan adalah suatu khianat. Orang yang kuat di antara kamu, pada sisiku hanyalah lemah, sehingga hak si lemah aku tarik dari padanya. Orang yang lemah di sisimu, pada sisiku kuat, sebab akan ku ambilkan dari pada si kuat akan haknya, Insyaallah. Janganlah kalian suka menghentikan jihad itu, yang tak akan ditimpa kehinaan. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi kalau aku melanggar perintah-Nya, tidak usahlah kalian taat dan ikut aku lagi. Berdirilah sembahyang, semoga rahmat Allah meliputi kamu.” Pemerintahan Abu Bakar adalah pemerintahan pertama yang mengobarkan peperangan dan memepersenjatai bala tentara untuk membela hak-hak kaum kafir yang lemah. Dalam hal ini Abu Bakar sangat di kenal dengan sebuah ungkapannya sekaligus yang menjadi komitmennya : “Demi Allah jika mereka tidak mau membayar zakat dari harta yang mampu mereka bayar , padahal (dahulu) mereka membayarkannya kepada Rasulullah SAW. Maka niscaya aku akan memerangi mereka.” Abu Bakar Ash Shiddiq yang memulai penakhlukan dan perluasan Islam pada masanya, Islam mampu menakhlukan Persia dan Romawi, bahkan beliau meninggal pada saat perang yarmuk melawan imperium Romawi. Dalam setiap peperangan yang diperintahkan beliau adalah selalu menanamkan nilai-nilai etika yang berdasar al Qur’an dan as sunnah. Beliau mewasiatkan pada kaum Muslimin : “Janganlah sekali-kali membunuh pendeta biarlah mereka melaksanakan peribadatan sesuai keyakinan mereka. Abu Bakar Ash Shiddiq menjadi khalifah hanya selama dua tahun, pada tahun 634 M beliau meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad saw dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, maka Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid bin Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini. Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, sebagaimana pada masa Rasulullah saw, bersifat sentral : kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad saw, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai al Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amr ibnu ‘Ash, Yazid ibnu Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibnu Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, dia sampai ke Syria. Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. beliau diganti oleh “tangan kanan”nya, Umar bin Khattab. 

Ketika Abu Bakar Ash Shiddiq sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, dia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, lalu mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar itu ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Dia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (Komandan orang-orang yang beriman). Abu Bakar Ash Shiddiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis al Quran. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal al Qur’an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar Ash Shiddiq lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari al Qur’an. Setelah lengkap koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal al Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, lalu disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan juga istri dari Nabi Muhammad saw. Kemudian pada masa pemerintahan Ustman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur’an hingga yang dikenal hingga saat ini.

Popular Posts

Blogger templates

Powered by Blogger.